Cegah Korupsi : Perlu Lakukan “Succes Redifinning”

Ahad, 10 Februari 2019

Dede Farhan Aulawi

Oleh : Dede Farhan Aulawi

 

Maraknya OTT yang dilakukan oleh KPK dan Saber Pungli menunjukan indikator bahwa program pemberantasan korupsi, khususnya pungutan liar masih belum optimal. Adanya lembaga negara di bidang pemberantasan korupsi dan juga sekian banyak LSM/ Ormas anti korupsi ternyata tidak menyurutkan “minat” banyak oknum untuk melakukan korupsi.

 

Satgas Saber Pungli yang dibentuk oleh Pemerintah RI hakikatnya merupakan komitmen dan tekad yang kuat untuk melakukan pemberantasan pungutan liar. Tekad ini sejatinya didukung oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk seluruh aparatur pemerintahan. 

 

Namun demikian, kenyataan yang terjadi masih jauh dari harapan. Padahal dampak dari adanya pungutan liar ini akan sangat berpengaruh bagi kesejahteraan ekonomi masyarakat, baik dalam kontek mikro ekonomi maupun makro ekonomi.

 

Lebih dari itu kondisi yang lebih menyedihkan lagi adalah bahwa pelaku korupsi yang selama ini tertangkap tangan, adalah orang – orang yang selama ini dipercaya untuk memegang amanah pemerintahan. Di lihat dari level pendidikan pun, mereka adalah kaum terdidik dan terhormat. 

 

Tapi ternyata fakta menunjukkan lain, bahwa level pendidikan tidak selalu beriringan dengan ikhtiar untuk menjaga marwah dan kehormatan diri, keluarga, dan lembaganya. Sederet gelar yang mereka miliki, sama sekali tidak mampu menjadi rem untuk menghentikan syahwat dan perilaku koruptifnya.

 

Jika ditarik ke belakang barangkali bangsa kita terlena dengan istilah “sukses”. Kata “Sukses” selama ini sering dipersepsikan dengan “materi/ kekayaan”, sehingga kalau ingin disebut sukses maka ia harus mengumpulkan banyak kekayaan. 

 

Sementara banyak orang yang mencapai level pendidikan tinggi atau mendapat posisi jabatan tinggi, tetapi kalau tidak kaya masih sering dianggap tidak sukses. Mindset materialistik inilah yang sering kali menyebabkan pola fikir salah arah dalam memanfaatkan jabatan dan kekuasaan untuk tujuan yang tidak baik, yaitu menumpuk kekayaan dengan segala cara.

 

Oleh karena itu, kita perlu melakukan success redefining atau melakukan pendefinisian ulang tentang arti kata “sukses”. Sukses jangan lagi diukur dengan materi atau kekayaan seseorang, melainkan kesholihan spiritual, kesholihan sosial dan kesholihan intelektual. Ini menjadi sangat penting agar kompas kehidupan ini disetting ulang. Penghormatan terhadap seseorang jangan lagi disandarkan pada kekayaan, kemewahan atau gaya hidup jor-joran. 

 

Namun fakta empirik sering menunjukkan, bahwa penghormatan masyarakat pada seseorang lebih pada ukuran materi-nya, bukan pada derajat intelektualitas, empathi sosial dan kesholihan spiritual-nya. Akhirnya mari kita dukung program Pemerintah di bidang pemberantasan pungli dan korupsi, demi kejayaan bangsa dan negara, serta demi kesejahteraan masyarakat Indonesia.***