Jakarta - Istilah korupsi politik merupakan ranah baru di dunia peradilan. Definisi itu tidak ditemukan dalam UU Tindak Pidana Korupsi. Oleh Artidjo Alkostar dkk, 'korupsi politik' ditegaskan kembali dalam kasus mantan Bupati Karanganyar, Jawa Tengah, Dr Hj Rina Iriani Sri Ratnaningsih M.Hum.
Bupati Karanganyar 2003-2013 itu tersangkut kasus korupsi dengan modus menyalahgunakan anggaran subsidi perumahan dari Kementerian Perumahan Rakyat Tahun Anggaran 2007-2008 untuk proyek perumahan Griya Lawu Asri (GLA). Selama 10 tahun itu, ia melakukan kejahatan pencucian uang yang dilakukan secara berlanjut.
Pada 17 Februari 2015, Pengadilan Negeri Tipikor Semarang menjatuhkan hukuman enam tahun penjara ke Rina. Putusan ini dikabulkan pda 29 April 2015. Di tingkat kasasi, Artidjo Alkostar-MS Lumme-Krisna Harahap memperberat hukuman Rina menjadi 12 tahun penjara atau 2 tahun di atas tuntutan jaksa.
Dalam putusan itu, Artidjo dkk merumuskan korupsi politik yaitu korupsi yang dilakukan pejabat publik dan uang hasil kejahatannya dialirkan untuk kegiatan politik.
"Terdakwa mempergunakan sebagian uang hasil korupsi sebesar Rp 2,4 miliar untuk kepentingan pribadi, yaitu dibagikan kepada pengurus politik pendukung terdakwa dalam rangka Pilkada 2008 sehingga perbuatan terdakwa merupakan korupsi politik," putusan majelis yang dilansir website MA, Minggu (14/8/2016).
Dalam Pilkada 2008, seperti dikutupip detikcom Rina membuat Rina Center. Tim ini pula yang mensukseskan Rina menjadi Bupati Karanganyar untuk kedua kalinya.
Kejahatan 'korupsi politik' juga dijatuhkan Artidjo kepada mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq LHI). Artidjo memperberat hukuman LHI dari 16 tahun menjadi 18 tahun penjara. Dalam putusan ini, Artidjo mengkonstruksikan kejahatan 'korupsi politik' adalah perbuatan yang dilakukan pejabat publik yang memegang kekuasaan politik tetapi kekuasaan politik itu digunakan sebagai alat kejahatan.
"Hubungan transaksional antara terdakwa yang anggota badan kekuasaan legislatif dengan pengusaha daging sapi Maria Elizabeth Liman merupakan korupsi politik karena dilakukan terdakwa yang berada dalam posisi memegang kekuasaan politik sehingga merupakan kejahatan yang serius (serious crimes)," kata Artidjo dalam putusannya.
(asp/ega)