Belajar ke "Tukang" Kritik
Penulis : Fedli Azis
FILSUF yang juga seniman, Paul Karl Feyerabend (11 Januari 1942 - 11 Februari 1994) populer di abad 20. Sosok kontroversial ini, dimasanya dicintai sekaligus dibenci, terutama oleh para pemuja sains.
Baginya, di zaman modern, sains berlagak seperti agama. Sebagaimana dominasi gereja Eropa masa lampau. Untuk menyangkal itu, Feyerabend sangat menyukai gebrakan Galileo yang masa itu menentang gereja untuk mempertahankan ide serta gagasannya, terutama tentang sains.
Hari ini, semua yang tidak saintifik dianggap kuno, ketinggalan zaman. Hari ini, menurut mantan perwira Nazi itu, sains telah menentang kreativitas dan imajinasi. Karena sains yang egois itu mewajibkan teori yang sama, plus berpikir dengan cara yang sama pula. Sains pun menuduh, di luar dari semua keinginannya itu, tidak ilmiah.
Feyerabend pun tak peduli dengan ocehan orang-orang yang membencinya itu. Walaupun ia digelar, "Musuh terburuk sains". Karena ia mengusulkan Pluralisme Medotologis dalam teori metode ilmiah. Baginya, metode ilmiah yang tetap, kaku dan baku itu berpotensi memonopoli kebenaran. Karena itu, para ilmuan harus menerapkan prinsip, "Apapun Boleh" terhadap metodologi.
Karya utamanya "Against Method" diterbitkan 1975, "Science in a Free Society" di 1978 dan "Farewell to Reason" (sebuah kumpulan tulisan diterbitkan 1987). Ia dikenal dengan gagasan Anarkisme Epistemologis dan menolak keberadaan peraturan metodologis yang universal. Feyerabend adalah tokoh yang berpengaruh dalam filsafat sains dan sosiologi pengetahuan ilmiah.
Nama Paul Karl Feyerabend ini kembali diangkat dalam diskusi kreatif yang mendaulat Bambang Putra Ermansyah S Sos alias Ibam sebagai pembicara. Diskusi santai dan bernas, Syarahan Sadhu Perdana itu ditaja FISIP Unri bersama Tsabitah Syndicate dan KedaiReka (Kampus Mandiri) di ruang Senat FISIP Unri, Selasa (31/1/2023) sebelah siang hingga menjelang Magrib.
Cukup banyak pembahasan mengemuka dalam diskusi tersebut. Ditambah lagi, Prof Yusmar Yusuf sangat bersemangat memancing para penanggap yang hadir di ruang itu untuk ikut aktif mengemukakan pendapat. Baik tentang filsafat maupun apa saja yang berkaitan dengan itu. Termasuk pikiran tentang kondisi sosial Riau hari ini.
Ibam mengangkat judul, "Pandangan Anarkistik dalam Ilmu Pengetahuan: Kritik Feyerabend Atas Universalisasi Pandangan Metodologis".
Diskusi itu dibuka dengan cantik oleh penggagas Syarahan Sadhu Perdana Prof Yusmar Yusuf lewat pernyataan: Paul Karl Feyerabend sesuai namanya mengambil frasa malam kelam beludru. Pikiran-pikiran Germania (osterreicht) yang formal dan kaku dingin.
Tapi setelah pembakuan ‘bid'ah’ pemikiran tentang anarkhi ilmu pengetahuan, dia semacam dikucilkan. Sains tak lebih hanya satu dari sekian bentuk pengucapan (bahasa) - selain agama - untuk berdepan dengan dunia.
Di tengah malam (abend) beludru itulah, arkian pemikiran-pemikiran Feyerabend meluncur bak "il viendra tout droit, du coeur des étoiles... (dia turun dari jantung bintang-bintang) abad ke 20. Feyerabend dengan tegas menolak kerajaan banalitas sains yang mendaku-daku sebagai raja kebenaran.
Anti Dogmatisme Para Ilmuan
Terlalu percaya pada metode baku akan membelenggu kreativitas. Maka kratiflah dan jangan mau disetir-setir oleh teori yang sudah baku. Feyerabend yang dianggap anti saint justru menjelaskan bahwa dirinya bukan anti, melainkan anti pada dogmatisme para ilmuan terhadap sains.
Dia (Feyerabend) mengatakan, "Don't take yours selves so seriously" alias Jangan terlalu serius dalam dunia sains. Sains hanya salah satu dari sekian banyak mode, gaya atau perspektif menghadapi realitas.
Tidak semua yang ilmiah itu lebih baik. Bahkan lebih cenderung mengacaukan. Sebab teori apa pun memiliki keterbatasannya sendiri. Tidak ada teori yang universal yang berlaku untuk semua kondisi dan situasi. Maka, kata Feyerabend, "Kritislah".
Prof Yusmar menambahkan, dalam diskusi yang mengasyikkan itu,
“Sains itu, berpembawaan a-historis bagi peradaban manusia. Dunia ini diselamatkan oleh (juga orang-orang malas); "Kalau semuanya rajin, maka bumi ini akan punah dalam waktu 20 tahun ke depan.
Ia (Yusmar) menyebut dalam bahasa Perancis, syarahan ini sebagai crème de la crème (yang terbaik di antara yang terbaik). Maka ia pun berharap diskusi semacam ini sebaiknya terus berjalan dan diadakan di seluruh tanah Sumatera. Kenapa? Untuk mengembalikan semangat intelektualitas masyarakat Pulau Sumatera.***
Tulis Komentar