Kejati Riau Jadi Narasumber dalam Kuliah Umum di Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning

Dekan Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning Dr. Fahmi, SH., MH memberikan cendramata kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Riau Akmal Abbas, S.H., M.H sebagai narasumber dalam Kegiatan Kuliah Umum di Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning dengan tema "Pen

PEKANBARU/86 - Kepala Kejaksaan Tinggi Riau Akmal Abbas, S.H., M.H menjadi narasumber dalam Kegiatan Kuliah Umum di Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning dengan tema "Penegakan Hukum Yang Humanis Yang Berintegritas Oleh Kejaksaan" di Aula Perpustakaan Universitas Lancang Kuning, Pekanbaru, Sabtu (2/12/2023)

Dalam sambutannya, Dekan Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning Dr. Fahmi, SH., MH menyampaikan ucapan selamat datang dan ucapan terimakasih kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Riau Akmal Abbas, S.H., M.H sebagai narasumber dalam Kegiatan Kuliah Umum di Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning dengan tema "Penegakan Hukum Yang Humanis Yang Berintegritas Oleh Kejaksaan".

Dekan Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning Dr. Fahmi, SH., MH meminta kepada seluruh mahasiswa/i untuk mengikuti dan mendengar dengan baik apa yang disampaikan oleh narasumber. Dikarenakan ini sangat bermanfaat buat mahasiswa/i Fakultas Hukum untuk mengetahui dan mengenal lebih dalam tentang hukum.

Sementara itu, Rektor Universitas Lancang Kuning Prof. Dr. Junaidi. S. S., M. Hum juga menyampaikan ucapan selamat datang dan ucapan terimakasih kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Riau Akmal Abbas, S.H., M.H sebagai narasumber dalam Kegiatan Kuliah Umum di Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning.

Rektor mengatakan, semoga melalui kegiatan hari ini, civitas akademika Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning dapat tampil memberikan kontribusi bagi penelitian dan pengembangan kelimuan dibidang hukum. Serta dapat ikut berperan dan berkhidmat dalam setiap lini kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Selanjutnya kegiatan dilanjutkan pemaparan materi oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Riau Akmal Abbas, SH., MH dengan tema “Penegakan Hukum Yang Humanis Yang Berintegritas Oleh Kejaksaan”.

Dalam pemaparan materinya Kepala Kejaksaan Tinggi Riau Akmal Abbas, SH., MH menyampaikan Kedudukan Pancasila bagi bangsa Indonesia adalah sebagai grundnorm atau basic norm, merupakan sumber dari segala sumber hukum dan merupakan sumber nilai bagi adanya sistem hukum. Dengan demikian Pancasila juga merupakan cita hukum (rechts idee) yang dipahami sebagai konstruksi pikir yang mengarahkan hukum pada cita-cita yang diinginkan.

Dalam kedudukan sebagai ”basic norm dan rechts idee”, maka kaitan Pancasila dengan pembinaan pranata hukum adalah: Pertama, cita hukum (Pancasila) berfungsi sebagai standar penilaian bagi peraturan perundang-undangan atau tolok ukur yang bersifat regulatif dan konstruktif, tanpa cita hukum maka produk hukum yang dihasilkan akan kehilangan maknanya. Kedua, sebagai guiding principle dalam penyelenggaraan hukum (law making process, law enforcement maupun law awareness);  

Ketiga, menentukan masalah, metoda dan penjelasan yang dianggap relevan untuk di telaah sehingga merupakan kunci pembentukan hukum oleh lembaga-lembaga hukum. Keempat, sebagai norma kritik dalam menghadapi tantangan kaitannya dengan penegakan hukum, karena ia berfungsi sebagai batas-batas pembenaran, tolok ukur mengenai etika dan moral, kehormatan dan martabat bangsa. 

Dan kelima, sebagai panduan bagi tercapainya cita-cita masyarakat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Pancasila sebagai rechts idee merupakan sumber nilai bagi sistem hukum,  baik hukum positif yang sedang berlaku (ius constitutum) maupun hukum yang dicita-citakan (ius contituendum). 

Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka menjelaskan bahwa ius constitutum merupakan hukum yang dibentuk dan berlaku dalam suatu masyarakat negara pada suatu saat. Ius constitutum adalah hukum positif.  Sementara ius constituendum adalah hukum yang dicita-citakan dalam pergaulan hidup negara, tetapi belum dibentuk menjadi undang-undang atau ketentuan lain. 

Pembedaan antara ius consitutum dengan ius constituendum diletakkan pada faktor waktu¸yaitu masa kini dan masa mendatang. Dalam hal ini, hukum diartikan sebagai tata hukum yang diidentikkan dengan istilah hukum positif.

 Kecenderungan pengertian tersebut sangat kuat, oleh karena kalangan tertentu berpendapat bahwa “Setelah diundangkan maka ius consituendum menjadi ius constitutum. Dengan demikian, ius constitutum kini, pada masa lampau merupakan ius constituendum. 

Apabila ius constitutum kini mempunyai kekuatan hukum, maka ius constituendum mempunyai nilai sejarah.Penegakan hukum harus dapat menjamin nilai-nilai yang sudah digali pendiri bangsa yaitu Pancasila :

1. Nilai Ketuhanan
2. Nilai Kemanusiaan
3. Nilai Persatuan
4. Nilai Kedaulatan Rakyat
5. Nilai Keadilan Sosial

Seiring berkembangnya waktu, adanya penambahan nilai :

1. Nilai Kepastian Hukum; dan
2. Nilai kemanfaatan Hukum
Yang merupakan tujuan hukum itu sendiri

Secara umum nilai-nilai dasar cita-cita hukum nasional bangsa Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Dibangun dengan mempertimbangkan kriteria rasional, dan menjungung tinggi nilai-nilai spiritual, etik dan moral untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.

2. Adanya prinsip penghormatan harkat dan martabat manusia dengan memberikan jaminan hak asasi warga negara dan hak-hak sosial secara selaras, serasi dan seimbang.

3. Mampu mencegah timbulnya ketidakadilan dalam masyarakat. Melindungi segenap bangsa Indonesia. Seluruh tumpah darah Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, memperkukuh, persatuan dan kesatuan bangsa dimana hanya ada satu hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional.

4. Adanya prinsip negara yang berkedaulatan rakyat, artinya dengan persetujuan rakyat melalui permusyawaratan perwakilan, agar hukum nasional sesuai dengan aspirasi rakyat sehingga mampu menjadi sarana untuk mengembangkan kesadaran, tanggung jawab dan menggairahkan peran serte dalam pembangunan dan menumbuhkan dinamika kehidupan bangsa dalam suasana tertib dan teratur.

Hukum nasional mengetengahkan nilai keadilan sosial dalam arti hukum nasional membuka jalan bagi terwujudnya pemerataan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sistem Peradilan Pidana Indonesia merupakan sebuah sistem terpadu yang terdiri dari beberapa subsistem dan masing-masing bertanggung jawab untuk menjamin terlaksananya penegakan hukum. Keterpaduan tersebut sangat diperlukan untuk mencapai tujuannya, yaitu menanggulangi tindak pidana yang terjadi di masyarakat. Keberhasilan dari sistem peradilan pidana sangat ditentukan oleh keberhasilan aparat penegak hukum.

Keberhasilan atau kegagalan penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana, sangat ditentukan oleh personal aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, diantaranya yaitu melakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara di Pengadilan. Sebagaimana dipahami, kegiatan penyidikan perkara pidana umumnya dilakukan oleh polisi (kecuali perkara tindak pidana tertentu dapat dilakukan oleh selain polisi), dimulai dari serangkaian kegiatan penyelidikan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari kegiatan penyidikan. Penyelidikan dimaksudkan sebagai langkah awal polisi untuk mengumpulkan bukti permulaan agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Selanjutnya tindakan penyidikan untuk membuat terang suatu tindak pidana dan menemukan tersangka sebelum kemudian diserahkan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan penuntutan dengan melimpahkan perkara ke Pengadilan. Kemudian melalui serangkaian pemeriksaan dalam persidangan, Hakim memutuskan perkara yang menentukan nasib seorang pelaku tindak pidana, yang pada akhirnya akan menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan. Proses inilah yang disebut sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system).

Namun demikian masih terdapat kesan bahwa sistem peradilan pidana terpadu selama ini tidak berjalan dengan baik. Hal ini bisa dilihat dari  masing-masing sub sistemnya (polisi, jaksa, hakim dan lembaga pemasyarakatan) yang berjalan sendiri-sendiri dan jauh dari keterpaduan. Polisi dan Jaksa sibuk menahan orang dan dibawa ke pengadilan, tetapi tidak memperhitungkan kondisi lembaga pemasyarakatan sebagai “tempat pembuangan akhir”. Padahal permasalahan utama yang dihadapi Lembaga Pemasyarakatan termasuk didalamnya Rumah Tahanan Negara saat ini adalah menyangkut jumlah ruang hunian yang tidak sebanding dengan jumlah tahanan yang masuk.
Sementara itu di Pengadilan sendiri, hampir seluruh vonis yang dijatuhkan oleh Hakim  berupa hukuman badan (penjara) kepada terdakwa yang harus dijalani dalam lembaga pemasyarakatan. Dengan kata lain penjara masih menjadi model favorit penghukuman untuk pelaku tindak pidana. Hal ini menyebabkan penjara-penjara menjadi penuh (over crowded and over capacity) sehingga tidak bisa menampung luapan “output” dari pengadilan. Hal ini mengakibatkan “out come” dari sistem pemasyarakatan yaitu terbinanya narapidana sehingga ketika keluar dari lembaga pemasyarakatan dapat kembali berbaur dengan masyarakat tidak tercapai. Yang terjadi adalah, penjara menjadi “kampus” untuk mendalami dan mempelajari modus operandi kejahatan supaya tidak tersentuh aparat penegak hukum.
Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan adalah biaya sangat besar yang harus dikeluarkan negara untuk “menghidupi” narapidana  yang kian hari makin banyak saja masuk lapas. Belum lagi biaya lainnya seperti penambahan Rumah Tahanan dan Lembaga Pemasyarakatan di seluruh Indonesia.

Perdebatan mengenai konsep pemidanaan yang sesuai untuk dipergunakan oleh sistem peradilan pidana mengacu kepada konsep keadilan. Terdapat dua arus utama perspektif dalam melihat konsep keadilan, yaitu keadilan retributif dan keadilan restoratif.

Konsep pemidanaan dalam perspektif keadilan retributif mengacu pada tujuan penjatuhan pidana yaitu pembalasan, pencegahan, dan efek jera serta rehabilitasi. Dalam konsep ini, negara merupakan satu-satunya pranata yang berwenang untuk menjatuhkan pidana.

Bentuk pidana yang dijatuhkan adalah bersifat pemberian nestapa atau penderitaan dalam bentuk perampasan kemerdekaan pelaku kejahatan dalam periode waktu tertentu. Tujuan penjatuhan pidana adalah menimbulkan efek jera kepada pelaku agar tidak melakukan kembali tindak pidana.

Kedudukan korban kejahatan dalam sistem peradilan pidana, hanyalah sebagai pelengkap penderita atau sebagai instrumen pemidanaan yang ditempatkan sebagai alat bukti dan dimanfaatkan dalam pembuktian di pengadilan. Sehingga korban dirugikan dan terpinggirkan.

Selanjutnya Kepala Kejaksaan Tinggi Riau Akmal Abbas, S.H., M.H menyampaikan aparat penegak hukum mulai menerapkan penegakan hukum yang berorientasi pada penyelesaian perkara dengan pendekatan keadilan restoratif. Khusus untuk Kejaksaan, penerapan keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara pidana di lingkungan Kejaksaan ditandai dengan diterbitkannya Peraturan Jaksa Agung RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Dengan pertimbangan bahwa penyelesaian perkara tindak pidana dengan mengedepankan keadilan restoratif yang menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula. Keseimbangan perlindungan dan kepentingan korban dan pelaku tindak pidana yang tidak berorientasi pada pembalasan merupakan suatu kebutuhan hukum masyarakat dan sebuah mekanisme yang harus dibangun dalam pelaksanaan kewenangan penuntutan dan pembaharuan sistem peradilan pidana;

Apa yang dilakukan oleh Kejaksaan RI tersebut adalah bentuk terobosan dalam mengatasi problematika dalam sistem peradilan pidana, antara lain mengatasi luapan narapidana di lembaga pemasyarakatan. Dikarenakan hukuman penjara yang masih menjadi model penghukuman favorit dari peradilan sekaligus dimaknai sebagai bentuk penegakan hukum yang humanis dan berintegritas oleh Kejaksaan.

Namun demikian yang perlu diwaspadai dan dihindari adalah terjadinya “industrialisasi hukum”. Dimana penerapan keadilan restoratif menjadi sarana transaksional baru dalam penyelesaian perkara. 

Untuk menghindari terjadinya industrialiasi hukum dalam penanganan perkara dan penegakan hukum, Jaksa Agung RI dalam berbagai kesempatan selalu menekankan pentingnya integritas dalam penegakan hukum dan upaya mewujudkan jaksa yang berkualitas, profesional dan berintegritas. Jaksa yang professional dan berintegritas adalah jaksa yang memiliki kejujuran, tanggung jawab, dan moralitas tinggi dalam melaksanakan tugasnya.

Yang menjunjung tinggi kode etik profesi, yang memiliki keberanian untuk menegakkan kebenaran tanpa adanya tekanan dari pihak manapun, mengutamakan kepentingan publik dan keadilan di atas kepentingan pribadi atau golongan. Dengan demikian, jaksa berintegritas merupakan aset penting dalam sistem peradilan yang bertanggung jawab dan adil.

Diakhir penyampaiannya Kepala Kejaksaan Tinggi Riau Akmal Abbas, S.H., M.H menyampaikan selaku Kepala Kejaksaan Tinggi Riau saya menyampaikan apresiasi kepada Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning yang telah meminta saya untuk menyampaikan kuliah umum terkait penegakan hukum yang humanis dan berintegritas oleh Kejaksaan.

“Untuk itu saya berharap segenap civitas akademika Universitas Lancang Kuning agar secara intens mengembangkan diri. Dan terlibat aktif dalam berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan serta pengembangan pendidikan tinggi sebagai bagian dari pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi,” pintanya.

Selain melaksanakan kegiatan pendidikan, juga melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat. Dengan tujuan untuk melahirkan para mahasiswa yang terpelajar, memiliki semangat tinggi, pemikiran yang kreatif, mandiri, inovatif agar dapat membangun bangsa di berbagai sektor sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. (BangDodi)


[Ikuti Riau86.com Melalui Sosial Media]






Loading...

Tulis Komentar