Tausiyah Pengajian Rutin Kejati Riau oleh Ustadz H.Naztier Abdul Muluk, LC
PEKANBARU/86 - Pengajian Rutin Kejaksaan Tinggi Riau disampaikan oleh Ustadz H.Naztier Abdul Muluk, LC di Masjid Al-Mizan Kejaksaan Tinggi Riau, Senin (8/1/2024). Pengajian ini diikuti oleh seluruh pegawai Kejaksaan Tinggi Riau yang beragama Islam.
Dalam penyampaiannya bahwa suatu hari, Fatimah menanyakan kepada ayahandanya tentang siapakah wanita yang pertama kali masuk surga ? Rasulullah menjawab, “Wahai Fatimah, jika engkau ingin mengetahui perempuan pertama yang masuk surga selain Ummul Mukminin, dia adalah Siti Muthi'ah.
“Siapakah Siti Muthi'ah itu, Rasulullah? Di manakah dia tinggal” tanya Fatimah penasaran. Karena tidak ada seorang pun yang mengenal Siti Muthi'ah, Rasulullah pun menjelaskan siapa Siti Muthi'ah yang dimaksud. “Siti Muthi'ah adalah perempuan yang tinggal di pinggiran kota Madinah.” Jawaban itu membuat Fatimah Az Zahra bertanya-tanya. Kemudian Rasulullah menasehati putrinya supaya sesekali berkunjung ke rumah Siti Muthi'ah.
Untuk memenuhi rasa penasarannya, Fatimah berkunjung ke rumah Siti Muthi’ah di pinggir Kota Madinah. Beliau ingin menyelidiki amalan dan Ibadah apa yang dilakukan Siti Muthi'ah hingga Rasulullah menyebut namanya sebagai perempuan terhormat. Keesokan harinya, Fatimah Az Zahra pamit kepada suaminya, Sayyidina Ali Bin Abi Thalib untuk mengunjungi kediaman Siti Muthi'ah dengan mengajak putranya, Hasan. Setelah mengetuk pintu dan memberi salam, terdengar suara dari dalam rumah.”Wa ‘alaikum salam. Siapa di luar?” tanya Siti Muthi'ah Fatimah menjawab, “Saya Fatimah, putri Rasulullah.” Siti Muthi'ah belum mau membuka pintu, ia malah balik bertanya,
“Ada keperluan apa, wahai Fatimah?”
Fatimah Az Zahra menjawab bahwa ia ingin bersilaturahmi saja.
Dari dalam rumah, Siti Muthi'ah kembali bertanya, “Anda seorang diri atau bersama yang lain?”. Saya bersama Hasan, putra saya,” jawab Fatimah dengan sabar. “Maaf, wahai Fatimah! Saya belum mendapat izin dari suami untuk menerima tamu laki-laki,” jawab Siti Muthi’ah.
“Tetapi Hasan masih anak-anak,” balas Fatimah. “Walaupun anak-anak, dia adalah lelaki juga. Besok saja kembali lagi setelah saya mendapat izin dari suami,” jelas Siti Muthi’ah. Fatimah tidak bisa memaksa, setelah mengucapkan salam ia pergi ke pasar meninggalkan kediaman Siti Muthi’ah.
Selanjutnya ia menyampaikan Keesokan harinya, Fatimah Az Zahra kembali mengunjungi rumah Siti Muthi'ah. Kali ini bukan hanya Hasan yang ikut, Husein pun ingin ikut bersama ibunya.
Tiba di kediaman Siti Muthi'ah, terjadi lagi dialog dari balik pintu. Siti Muthi'ah berkata bahwa suaminya telah mengizinkan Hasan untuk masuk ke rumahnya. Sebelum pintu dibuka, Fatimah mengatakan kali ini bukan hanya Hasan yang ikut melainkan bertiga bersama Husein.
Mendengar jawaban Fatimah, Siti Muthi’ah urung membukakan pintu. Fatimah Az Zahra meyakinkan Siti Muthi’ah bahwa Husein adalah cucu rasulullah dan saudaranya Hasan. “Dia seorang anak laki-laki, saya belum meminta izin kepada suami kalau Husein mau berkunjung ke rumah ini,” kata Siti Muthi’ah.
“Tetapi Husein masih anak-anak!” tegas Fatimah. “Walaupun anak-anak, Husein laki-laki juga. Maafkan, wahai Fatimah! Bagaimana kalau kembali besok setelah saya meminta izin kepada suami,” kata Siti Muthi’ah. Fathimah tidak bisa memaksa Siti Muthi’ah, ia bersama Hasan dan Husein kembali pulang, namun besok berjanji untuk datang lagi. Keesokan harinya, Siti Muthi’ah menyambut kedatangan Fatimah bersama Hasan dan Husein dengan gembira.
Diakhir Ustadz H.Naztier Abdul Muluk, LCmenyampaikan Kali ini kehadiran Hasan dan Husein telah mendapat izin dari suaminya. Fatimah pun bersemangat ingin segera menyelidiki ibadah amalan dan muamalah apa saja yang dilakukan perempuan ahli surga yang dikisahkan oleh Rasulullah kepada Fatimah.
Keadaan rumah Siti Muthi’ah jauh dari yang dibayangkan Fatimah. Rumahnya sangat sederhana tanpa perabotan mewah, namun semuanya tertata rapi dan bersih. Tempat tidur beralaskan kain berwarna putih yang harum, setiap sudut ruangan tampak segar dan wangi, membuat penghuninya sedang berlama-lama di rumah.
Hasan dan Husein pun merasa betah bermain di kediaman Siti Muthi’ah. Selama berkunjung, Fatimah tidak menemukan sesuatu yang istimewa dilakukan Siti Muthi’ah. Namun, Siti Muthi'ah kelihatan sibuk mondar-mandir dari dapur ke ruang tamu.
“Maaf Fatimah, saya tidak bisa duduk tenang menemanimu karena saya harus menyiapkan makanan untuk suami.” Mendekati waktu makan siang, semua makanan sudah tersedia. Siti Muthi’ah menuangkan satu per satu makanan di wadah khusus untuk dikirim ke suaminya yang bekerja di ladang.
Yang membuat Fatimah heran, selain makanan Siti Muthi’ah membawa bekal sebuah cambuk. “Apakah suamimu pengembala? tanya Fatimah. Mutiah menuturkan bahwa suaminya bekerja sebagai petani bukan pengembala.
“Lalu untuk apa cambuk itu?” tanya Fatimah semakin penasaran.
Siti Mutia menjelaskan bahwa cambuk itu sangat penting, fungsinya jika suaminya merasakan masakan istrinya tidak enak, atau ia masih tidak mampu membahagiakan suaminya, dia ridha cambuk yang bicara. Siti Muthi’ah akan menyerahkan cambuk kepada suaminya untuk dipukulkan ke punggungnya.
“Berarti aku tidak bisa melayani suami dan menyenangkan hatinya,” kata Siti Muthi’ah kepada Fatimah Az Zahra.
“Apakah itu kehendak suamimu?” tanya Fatimah. “Ini bukan kehendak suamiku. Ia orang yang penuh kasih sayang.
Semua ini kulakukan karena keinginanku sendiri agar jangan sampai menjadi istri durhaka kepada suami.” Perkataan Siti Muthi’ah tersebut menjadi jawaban atas misteri yang selama ini dicari oleh Fatimah.
Masya Allah! Demi menyenangkan suami, Siti Muthi’ah rela dicambuk. “Aku hanya mencari keridhaan dari suami karena istri yang baik adalah istri yang patuh pada suami yang baik, dan suami ridha kepada istrinya,” ujar Siti Muthi'ah.
Apa yang dilakukan Siti Muthi’ah bukan simbol perbudakan suami kepada istrinya, melainkan cermin ketulusan dan pengorbanan istri yang patut mendapat balasan surga.
Selain Fatimah Az Zahra, Siti Muthi’ah adalah sosok perempuan yang mampu menjadi contoh teladan bagi istri-istri yang shalihah. (BangDodi)
Tulis Komentar