Ternyata Miliki JC dari Kejari Rohil

Suhermanto Minta Bantuan Bupati Rohil

Suhermanto

BAGANSIAPIAPI/86 - Perjuangan Suhermanto (41) eks oknum Aparatur Sipil Negara (ASN)  merupakan korban dari atasan terjerat kasus korupsi rekening gendut Mantan Kepala Bappeda Rohil, Drs H Wan Amir Firdaus belum berakhir. Hingga saat ini masih berjuang di Mahkamah Konsitusi (MK) dan ternyata kini sudah memiliki surat Justice Collaborator (JC) dari Pihak Kejaksaan Negri Rokan Hilir.

 

Untuk itulah ia sangat berharap bantuan perjuangan Bupati Rohil H.Suyatno terkait permasalahan yang dihadapinya. "Pak Bupati kami hanya korban jangan sampai anak istri kami teraniaya seumur hidup, kami tengah berjuang mohon dukung kami," kata Suhermanto kepada wartawan, di Warung Kopi Darman, Bagansiapiapi, Jumat (4/1/2019).

 

Hal ini terkait Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga mentri tentang pemberhentian tidak dengan hormat (PDTH) eks napi korupsi yang menimbulkan dilema pemerintah daerah untuk mengeluarkan surat pemecatan karena berbagai pertimbangan.

 

Suhermanto menjelaskan bahwa JC yang ia terima pada Februari 2017 lalu hendaknya juga menjadi pertimbangan Bupati, Pihak Kejaksaan untuk disampaikan ke pusat karena sudah membantu pihak penegak hukum mengungkap kasus yang sudah dijalaninya dengan baik. "Kami mengaku salah dan telah mengungkap sejelas-jelasnya saat itu mudah-mudahan bisa menjadi pertimbangan untuk kami yang tidak menerima dan menikmati sepeserpun kerugian negara," katanya.

 

Bahkan ia mengakui sudah menemui Pihak Kejaksaan dalam hal ini Kepala Seksi Pidana Khusus (Pidsus) Kejari Rohil, Mochtar Arifin menyampaikan hal tersebut. Untuk sementara memang akan dipelajari dahulu dan selanjutnya akan disampaikan bagaimana hasilnya.

 

Memang jika dilihat bagi Napi yang menerima JC ini dalam aturan sangat membantu baik Jaksa Penuntut Umum (JPU) maupun hakim dalam satu perkara sehingga bisa diselesaikan dengan tuntas. JC atau pelapor tersangka adalah saksi yang juga sebagai tersangka dalam kasus yang sama.  Saksi seperti ini  juga biasa disebut  “saksi mahkota”, “saksi kolaborator”, dan “kolaborator hukum.”

 

Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban mengatur  hubungan antara kesaksian justice collaborator dan hukuman yang diberikan. Pasal ini berbunyi “Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat meringankan pidana yang akan dijatuhkan terhadapnya.”

 

Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tidak memberikan panduan untuk menentukan kapan seseorang dapat disebut sebagai pelaku yang bekerjasama; pihak yang menentukan bahwa seorang pelaku telah bekerjasama; ukuran kerja sama seseorang yang mengaku sebagai pelaku bekerjasama atau ukuran penghargaan yang akan diberikan.

 

Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tidak memberikan panduan untuk menentukan kapan seseorang dapat disebut sebagai pelaku yang bekerjasama; pihak yang menentukan bahwa seorang pelaku telah bekerjasama; ukuran kerja sama seseorang yang mengaku sebagai pelaku bekerjasama atau ukuran penghargaan yang akan diberikan.

 

Pada 2011 Mahkamah Agung mengeluarkan Sema (Surat Edaran Mahkamah Agung) tentang justice collaborator dan whistleblower yang diharapkan menjadi pegangan hakim dalam memutus perkara.

 

Dalam Sema No.4/2011 tersebut justice collaborator disebutkan sebagai salah satu pelaku tindak pidana tertentu –bukan pelaku utama kejahatan-  yang mengakui kejahatan yang dilakukannya, serta memberikan keterangannya sebagai saksi dalam proses peradilan. 

 

Tindak pidana tertentu yang dimaksud SEMA adalah tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir. Sehingga, tindak pidana tersebut telah menimbulkan masalah dan ancaman serius bagi stabilitas dan keamanan masyarakat.

 

Salah satu acuan SEMA  adalah Pasal 37 Ayat (2) dan Ayat (3) Konvensi PBB Anti Korupsi (United Nations Convention Against Corruption) tahun 2003. Ayat (2) pasal tersebut berbunyi, “Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan, memberikan kemungkinan dalam kasus-kasus tertentu mengurangi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang diterapkan dalam konvensi ini.”

 

Suhermanto berharap agar perjuangannya tidak pupus, dalam hal ini bukan berarti pemerintah membela atau mendukung kasus korupsi. Hanya saja dibalik itu semua ada berbagai pertimbangan taerkait siapa korban dan siapa pelaku utama dalam sebuah kasus.

 

"Jujur saat persidangan kami sudah membantu dan  sudah mengungkap dengan sejelas jelasnya. kita hanya korban dan bukan pelaku utama. dan juga terungkap dipersidangan bahwa kita tidak satu sen pun menikmati ketigian negara. Lqntas apakah kami juga harus menderita pemecatan yang membuat kami harus dihukum seumur hidup kehilangan pekerjaan," paparnya.

 

Atas dasar itulah pihak kejaksaan mengeluarkan JC kepada Suhermanto. Selanjutnya mudah-mudahan Kejati Riau dan Kejari Rohil agar memberikan pertimbangan hukum terkait permasalaham yang sedang dihadapi dan bisa menjadi perimbangan oleh Bupati Rohil, Kemndagri dan KPK terkait SKB 3 mentri yang memukul rata bahwa semua napi korupsi adalah sama.

 

Sementara itu Kepala Kejaksaan Negri Rokan Hilir, Gaos Wicaksono melalui Kasipidsus Mochtar Arifin membenarkan bahwa salah satu eks Napi sudah menemuinya terkait permohonan pertimbangan terhadap SKB 3 Mentri.

 

"Kemaren ada yang bertanya terkait hal ini, Namun kita akan kumpulkan data-data dulu dan mempelajarinya terlebih dahulu,” pungkasnya. (BangDo/Rpz)


[Ikuti Riau86.com Melalui Sosial Media]






Loading...

Tulis Komentar